HALALKAH MMM?
Oleh : Guru Anom
Mungkin kita pernah mendengar istilah DHABITH dan KAIDAH. Karena MMM sangat berhubungan dengan masalah muamalah yang baru, maka MMM perlu ditinjau dari Dhabithnya. Menghalalkan dan mengharamkan sesuatu adalah hak Allah 'Azza Wa Jalla.
Tetapi ketika ada masalah baru dalam urusan dunia, seperti MMM, tentu tidak ada satupun dalil yang melarang sistem MMM. Karena sistem MMM adalah konsep saling tolong menolong.
Mengetahui
kaidah dan dhobith adalah perkara yang sangat penting dalam setiap
masalah agama. Dan dengan kaidah dan dhobith seorang muslim
akan mempunyai gambaran yang baik pada setiap permasalahan, bisa
melepaskannya dari berbagai masalah dan menjaganya dari kesalahan.
Dhobith (ضَابِطٌ) berasal dari kata Adh-Dhobth (الْضَبْطُ) yang berarti tetap dan komitment diatas sesuatu. Adapun secara istilah, kalimat para ‘ulama beraneka ragam dalam mendefinisikannya. Tapi yang paling dekat definisinya dalam bab mu’amalat adalah segala sesuatu yang mengumpulkan bagian-bagian perkara tertentu atau ukuran/pijakan yang setiap bagian dari suatu bab bisa kembali kepadanya.
Dhobith kadang bisa diterjemah dengan makna kaidah walaupun para ulama membedakan antara kaidah dan dhobith. Kalau
kaidah itu adalah ukuran/pijakan yang bisa dipakai dalam seluruh
bab/permasalahan. Maka dhobith hanya dipakai dalam bab tertentu saja.
Kalau
dikatakan ada kaidah begini-begitu, maka itu berarti bahwa kidah
tersebut bisa digunakan dalam seluruh bab, baik dalam sholat, puasa,
zakat, haji dan lain-lain termasuk muamalah. Tapi kalau dikatakan dhobith dalam masalah ini begini-begitu, maka itu menunjukkan bahwa dhobith tersebut hanya dipakai dalam bab itu secara khusus.
Kalau
dipakai dalam bab sholat maka dhobith itu khusus dalam bab sholat,
kalau digunakan dalam bab puasa maka dhobith itu hanya dalam bab puasa,
demikian juga jika dipakai dalam bab muamalah.
Dhobith pertama : Asal dalam mu’amalat adalah halal dan boleh kecuali kalau ada dalil yang mengharamkan atau melarang.
Kandungan
dhobith pertama ini adalah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama’
termasuk Imam empat dan tidak ada yang menyelisihi pendapat ini kecuali
Al-Abhary dari kalangan Malikiyah dan Ibnu Hazm dari Mazdhab
Azh-Zhohiriyah.
Banyak dalil yang menunjukkan kuatnya pendapat ini, diantaranya :
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqorah : 275)
Sisi
pendalilan : Allah menghalalkan jual beli dan perdagangan dengan
seluruh jenisnya dan mengharamkan riba karena didalamnya terdapat bentuk
kezholiman dan memakan harta manusia dengan kebatilan. Maka hal ini
menunjukkan bahwa asal dalam mu’amalat adalah halal sepanjang tidak
mengandung kezholiman atau makan harta manusia dengan kebatilan.
Dan didalam tanzil-Nya, Allah menyatakan :
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
“Apabila sholat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah”. (QS. Al-Jumu’ah : 10)
Sisi
pendalilan : Jual beli memiliki larangan khusus yaitu ketika adzan
jum’at telah dikumandangkan. Namun setelah jum’at kita diperintah dengan
perintah umum untuk bertebaran di muka bumi mencari karunia Allah. Maka
ini menunjukkan bahwa asal dalam mu’amalat adalah halal dan boleh
sampai ada dalil yang menunjukkan tentang haramnya.
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlangsung atas dasar suka sama-suka di antara kamu”.
(QS. An-Nisa` : 29)
Sisi
pendalilan : Dalam ayat ini tidak disyaratkan dalam perdagangan kecuali
saling ridha, menunjukkan bahwa sepanjang satu bentuk perdagangan dan
jual beli sesuai dengan tuntunan dan tidak ada larangannya maka asalnya
adalah boleh dan halal.
Dan Rabbul ‘Izzah berfirman :
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
“Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu”. (QS. Al-An’am : 119)
Sisi
pendalilan : Segala sesuatu yang telah diharamkan ada rincian
penjelasan haramnya dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Maka ini menunjukkan
bahwa asal dari mu’amalat adalah boleh dan halal dan tidaklah boleh
mengharamkan sesuatu kecuali kalau ada penjelasannya dari Allah ‘Azza wa
Jalla dan Rasul-Nya.
Dan Allah Jalla Sya’nuhu menyatakan :
قُلْ
لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ
إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ
“Katakanlah:
“Tiadalah aku dapatkan dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan
itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi”. (QS. Al-An’am :
145)
Sisi
pendalilan : Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya membatasi perkara-perkara
yang diharamkan dalam ayat ini, maka apa saja yang tidak diketahui
pengharamannya maka ia adalah halal.
Kesimpulan :
Secara dhabith, hukum MMM adalah HALAL
Karena hukum asal tersebut belum ditemukan larangan yang mengarah kepada pengharaman.
Kaum
muslimin jangan salah faham dengan kami, kami bukan membuat hukum
tentang MMM, bukan kapasitas saya memutuskan halal atau haram. Kami
menghalalkan karena belum menemukan illat (cacat hukum) dalam MMM, atau
yang mengarah kepada perbuatan haram/yang dilarang. Jadi, sebelum ada larangan yang jelas tentang sistem MMM, maka hukumnya tetap kembali ke hukum semula, yakni HALAL.
Alasannya adalah : MMM masalah muamalah baru yang belum ditemukan penyimpangannya secara syar'i.
Hukum ini akan berubah jika MMM cacat hukum. Antara lain :
- Riba
MMM
sama sekali tidak berhubungan dengan jual beli dan hutang piutang,
tetapi pemberian. Adanya penambahan 30% bukan dari orang yang
ditransfer, tetapi dari orang lain yang memberi suka rela. Perkara
memberi ikhlas atau tidak, urusan hati masing-masing, dan tentu saja
tidak lantas menjadi haram hanya karena niat yang salah. Contoh anda
menyumbang masjid, tetapi tidak ikhlash, maka uang tersebut tetap halal,
bukan menjadi haram karena salah niat.
- Gharar (Penipuan)
Di MMM. Tak ada celah menipu. Pihak management MMM. Sama sekali tidak menerima SETORAN uang ke perusahaan layaknya investasi.
- Zhulmun
Ada akad yang menzhalimi satu pihak dan hanya menguntungkan pihak lain. MMM jelas menguntungkan semua pihak.
- Terpaksa/ Tiada Rela
Sedangkan
di MMM sejak PH seseorang dikondisikan agar benar-benar tulus dan suka
rela membantu. Demikianlah, artinya system benar, perkara orang tidak
rela saat membantu, tidak menggugurkan sistem.
- Mengandung Unsur Perjudian
Sangat jauh berbeda antara MMM dengan perjuadian. Dalam
judi jelas-jelas spekulasi, pasti ada yang hancur dan untung besar,
pasti ada yang kecewa, sebab dalam judi ada istilah kalah dan menang.
Sedangkan di MMM. "MENANG SEMUA", "UNTUNG SEMUA", "SENANG SEMUA".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar